Langsung ke konten utama

Antidepresan Dapat Merusak Sperma

Obat Antidepresan
Riset ilmuwan di Amerika Serikat mengindikasikan, obat yang digunakan jutaan pria di dunia untuk meringankan depresi ternyata dapat menimbulkan efek samping terhadap kualitas kesuburan.

Penelitian terhadap puluhan pria sehat menunjukkan, pemberian obat antidepresan paroxetine selama empat pekan menyebabkan kerusakan pada sebagian besar DNA sperma para partisipan.

Tim peneliti dari Cornell Medical Center di New York yang menggagas riset ini menegaskan, temuan ini tidak serta-merta memberi indikasi adanya ancaman bagi para pria dalam mendapatkan keturunan. Menurut seorang ahli fertilitas di Sheffield, Inggris, hasil riset yang dimuat New Scientist ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
Paroxetine, yang dijual dengan merek Seroxat atau Paxil, adalah salah satu obat antidepresan yang paling banyak diresepkan. Penelitian ini tercatat sebagai riset kedua yang dilakukan di Cornell Medical Center untuk mencari kemungkinan dampak penggunaan obat antidepresan terhadap kualitas sperma.

Pada riset yang dipimpin Peter Schlegel dan Cigdem Tanrikut ini, 35 partisipan sehat diminta secara sukarela memberikan sampel sperma sebelum dan setelah mendapatkan pengobatan paroxetine. Hasil pemeriksaaan di bawah mikroskop tidak menunjukkan perbedaan yang berarti pada dua jenis sampel sperma, yakni sebelum dan setelah pengobatan. Bentuk dan pergerakan sperma pada dua kelompok sampel tampak normal.

Namun demikian, saat pengujian fragmentasi DNA, dua kelompok sampel sperma menunjukkan perbedaan. Beberapa sperma yang mengalami gangguan DNA ditemukan pada setiap sampel, dan 13,8 persen sel-sel sperma yang dihasilkan sebelum pengobatan ditemukan mengalami fragmentasi. Setelah pengobatan dengan paroxetine selama empat minggu, jumlah yang terfragmentasi meningkat hingga 30,3 persen.

Salah satu pertanyaan kunci adalah apakah perubahan ini cukup signifikan memengaruhi kesuburan pria, atau apakah sisa 70 persen sperma yang tidak terpengaruh bakal cukup untuk menghasilkan kehamilan secara konsisten.

Pada pasangan yang menjalani program bayi tabung atau In Vitro Fertilization, beberapa penelitian mengindikasikan bahwa pasangan dengan tingkat kerusakan DNA spermanya tinggi menghasilkan lebih sedikit embrio. Embrio mereka juga cenderung sulit berhasil saat ditanamkan dalam rahim.

Dr Allan Pacey, pakar Andrologi dari University of Sheffield, berpendapat, meski banyak laporan sporadis menyebutkan antidepresan dapat memengaruhi kualitas sperma, perlu banyak riset lanjutan dalam upaya membantu para ilmuwan mengevaluasi risiko penggunaan obat.

"Munculnya peningkatan kerusakan DNA pada sperma adalah hal yang perlu diwaspadai meski pada tingkat yang kita anggap kerusakannya dapat merugikan secara klinis masih menjadi kontroversi bagi para ilmuwan.

"Patut disayangkan peneliti tampaknya tidak melakukan riset secara acak dan kontrol yang mana teknik ini menjadi cara paling ilmiah untuk meneliti pengaruh obat. Tetapi saya percaya bahwa hasil temuan ini menjadi perhatian dan perlu diteliti lebih lanjut," paparnya.

Sementara itu, perusahaan yang memproduksi obat ini, GlaxoSmithKline, menyatakan akan me-review hasil penelitian ini. "Obat-obatan ini masih tetap menjadi pilihan penting, selain konseling dan perubahan gaya hidup, untuk mengobati depresi. Riset ini seharusnya tidak perlu menimbulkan kekhawatiran para pasien. Pasien juga harus mendiskusikan kondisi mereka dengan dokter sebelum menggunakan obat ini," ujar juru bicara GlaxoSmithKline.

Baca Juga

Artikel Terkait

Komentar